Kualitas diri seseorang bisa diukur dari kemampuannya menjaga
lidah. Orang-orang beriman tentu akan berhati-hati dalam menggunakan lidahnya.
"Wahai orang-orang beriman takutlah kalian pada Allah dan berkatalah
dengan kata-kata yang benar." (QS Al-Ahzab:70). Sementara itu, Rasulullah
saw bersabda, "Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah dia berkata baik atau diam". (HR Bukhari-Muslim).
Rasulullah adalah figur teladan yang sangat menjaga
kata-katanya. Beliau berbicara, beruap, berdialog, juga berkhutbah di hadapan
jamaah dengan akhlak. Demikian tinggi akhlak beliau hingga disebutkan bahwa
kualitas akhlak beliau adalah Al-Quran. Mulut manusia itu seperti moncong teko.
Moncong teko hanya mengeluarkan isi teko. Kalau ingin tahu isi teko, cukup
lihat dari apa yang keluar dari moncong itu. Begitu pun jika kita ingin
mengetahui kualitas diri seseorang, lihat saja dari apa yang sering dikeluarkan
oleh mulutnya.
Nabi Muhammad saw termasuk orang yang sangat jarang berbicara.
Namun, sekalinya berbicara, isi pembicaraannya bisa dipastikan kebenarannya.
Bobot ucapan Rasulullah sangat tinggi, seolah tiap kata yang terucap adalah
butir-butir mutiara yang cemerlang. Indah, berharga, bermutu, dan monumental.
Ucapan Rasulullah saw menembus hati, menggugah kesadaran, menghujam dalam jiwa,
dan mengubah perilaku orang (atas izin Allah). Bukan saja karena lisan
Rasulullah dibimbing Allah dan posisinya sebagai penyampai wahyu, di mana
ucapan-ucapan darinya menjadi dasar hukum. Lebih dari itu, Rasulullah sejak kecil
sudah dikenal sebagai Al-Amin, tidak pernah berkata dusta walau sekali saja.
Investasi moral ini tentu sangat mempengaruhi kualitas ucapannya.
Dalam sebuah kitab ada keterangan menarik. Disebutkan ada empat
jenis manusia diukur dari kualitas pembicaraannya.
Pertama, orang yang berkualitas tinggi. Kalau dia berbicara,
isinya sarat dengan hikmah, ide, gagasan, solusi, ilmu, dzikir, dan sebagainya.
Orang seperti ini pembicaraannya bermanfaat bagi dirinya sendiri, juga bagi
orang lain yang mendengarkan. Jika dia diajak berbicara sekalipun ngobrol,
ujungnya adalah manfaat.
Ketika disodorkan padanya keluhan tentang krisis, dengan tangkas
dia menjawab, "Krisis adalah peluang bagi kita untuk mengevaluasi
kekurangan yang ada. Dengan krisis, siapa tahu kita akan lebih kreatif? Kita
bisa mencari celah-celah peluang inovasi. Pokoknya jangan putus asa, semangat
terus!" Siapa saja yang biasa berbicara tentang solusi, gagasan, hikmah,
dan hal-hal serupa itu, insya Allah dia adalah manusia yang berkualitas.
Kedua, orang yang biasa-biasa saja. Ciri orang seperti ini
adalah selalu sibuk menceritakan peristiwa. Melihat ada kereta api terguling,
dia berkomentar ribut sekali. Seolah dirinya yang kelindes kereta. Ketika
bertemu seorang artis, terus dicerita-ceritakan tiada henti. Pokoknya ada apa
saja dikomentari. Dia seperti juru bicara yang wajib berkomentar kapan pun ada
peristiwa. Tidak peduli peristiwa layak dia komentari atau tidak.
Ini tipe manusia tukang cerita peristiwa. Prinsip yang dia
pegang: "Pokoknya bunyi!" Tidak ada masalah dengan peristiwa. Jika
melalui itu semua kita bisa memungut hikmah yang sebaik-baiknya, insya Allah
peristiwa bermanfaat. Namun, jika dari peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang
dituju kecuali menunggu sampai mulut lelah sendiri, ini tentu kesia-siaan.
Ketiga, orang rendahan. Cirinya kalau berbicara isinya hanya
mengeluh, mencela, atau menghina. Apa saja bisa jadi bahan keluhan.
"Aduuuh ini pinggang, kenapa jadi sakit begini. Hari ini kayak-nya banyak
masalah, nih!" Ketika kepadanya disodorkan makanan, jurus keluhannya
segera berhamburan. "Makanan kok dingin begini? Coba kalau ada sambel,
tentu lebih nikmat. Aduuuh, kerupuk ini, kenapa kecil-kecil begini?" Terus
saja makanan dikeluhkan, walau kenyataannya semua akhirnya habis juga.
Mengeluh dan mencela, itu hari-hari orang rendahan. Seolah tiada
hari berlalu tanpa keluh-kesah. Ketika turun hujan, hujan segera dicaci.
"Ohh, hujan melulu, di mana-mana becek. Jemuran nggak kering-kering."
Ketika di jalanan macet, mengeluh. Ketika ada lampu merah, mengeluh. Ketika ada
polisi, mengeluh. Ketika ada orang meminta-minta, mengeluh. Dan seterusnya.
Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Alangkah menderita hidup orang
yang dipenjara oleh keluh-kesah. Dia tidak bisa membedakan mana nikmat dan mana
musibah. Seluruh lembar hidupnya dimaknai sebagai kesusahan, sehingga layak
dikeluhkan.
Keempat, orang yang dangkal. Adalah mereka yang semua
pembicaraannya tidak keluar dari menyebut-nyebut kehebatan dirinya,
jasa-jasanya, kebaikan-kebaikannya. Padahal hidup ini adalah pengabdian untuk
Allah. Mengapa harus kita membanggakan apa yang Allah titipkan pada kita?
Ada orang pakai cincin segera berkomentar, "Oh, itu sih
mirip cincin saya." Ada orang beli mobil baru, "Nah, ini seperti yang
di garasi saya itu." Ada kucing berbulu tebal melompat, "Kucing ini
gondrong. Oh yaa, kucing gondrong itu mirip singa. Hai, tau nggak? Saya sudah
pernah ke Singapura, lho. Hebat sekali kota Singapura. Hanya orang yang hebat
saja bisa pergi ke sana." Orang-orang dangkal ini akan terus berbicara
tiada henti. Tak lupa dia selalu menyelipkan kata-kata kesombongan dan
membanggakan diri.
Orang-orang dangkal tiada bosan mengekspose diri, menyebut jasa,
kebaikan, dan prestasinya. Dia selalu ingin tampak menonjol dan mendominasi.
Jika ada orang lain yang secara wajar tampak lebih baik, hatinya teriris-iris,
tidak rela, dan sangat berharap orang itu akan segera celaka. Inilah ilmu gelas
kosong. Gelas kosong, maunya diisi terus. Orang yang kosong dari harga diri,
inginnya minta dihargai terus. Kita harus berhati-hati dalam berbicara. Harus
kita sadari bahwa berbicara itu dibatasi oleh etika-etika. Hendaklah kita ada
di atas rel yang benar. Jangan sampai kita jatuh dalam apa-apa yang Allah
larang.
Dalam berbicara kita jangan bergunjing (ghibah). Bergunjing
adalah perbuatan yang ringan, bahkan bagi sebagian orang mungkin dianggap
mengasyikkan. Namun, jika dilakukan dengan sengaja, apalagi dengan kesadaran
penuh dan tekad menggebu, bergunjing bisa menjadi dosa besar.
"Dan janganlah kalian ber-ghibah (bergunjing) sebagian
kalian terhadap sebagian yang lain. Apakah suka salah-seorang dari kalian makan
daging bangkai saudaranya? Maka, kalian tentu akan sangat jijik kepadanya. Dan
takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat."
(QS Al-Hujurat:12).
Kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai keinginan
kita. Tapi kita bisa memaksa diri kita untuk melakukan yang terbaik menyikapi
sikap orang lain. Banyak bicara tidak selalu buruk, yang buruk adalah banyak
berbicara kebatilan. Boleh-boleh saja kita produktif berbicara, tapi harus
proporsional. Jika kita berbicara hal yang benar dan memang harus banyak, tentu
kita lakukan hal itu. Pembicaraan seringkali bergeser dari rel kebaikan ketika
kita tidak proporsional.
Semua orang harus menjaga lidahnya. Tidak peduli apakah itu
orang-orang yang dianggap ahli agama. Orang-orang yang pandai membaca Al-Quran
atau hadis, tidak otomatis pembicaraannya telah terjaga. Di sini tetap
dibutuhkan proses belajar, berlatih, dan terus berjuang agar mutu kata-kata
kita semakin meningkat.
Alangkah ironi jika orang-orang yang ahli agama, namun tidak
menjaga lisan. Dia banyak menasihati umat dengan perilaku-perilaku yang baik,
tapi saat yang sama dia tidak melakukan hal itu. Jika orang-orang preman
berkata kasar, jorok, dan tak mengenai tata krama, orang masih maklum. Namun,
jika orang-orang alim yang melakukannya, tentu ini adalah bencana serius.
Satu langkah konkret untuk memulai upaya menjaga lisan adalah
dengan mulai mengurangi jumlah kata-kata. Makin sedikit bicara, makin tipis
peluang kesalahan. Sebaliknya makin banyak bicara, peluang tergelincir lidah
semakin lebar. Jika lidah kita telah meluncur tanpa kendali, kehormatan kita
seketika akan runtuh. Berbahagialah bagi siapa yang bisa berkata dengan akhlak
tinggi. Selalu berkata baik. Jika tidak, cukup diam saja!
Saudaraku, sadarilah bahwa lidah ini adalah amanah. Tiap-tiap
kata yang terucap darinya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Jadikan ucapan-ucapan kita adalah modal untuk mengundang keridhaan Allah.
Jangan jadikan kata-kata itu sebagai sebab datangnya murka dan kebencian-Nya.
Semoga Allah SWT membimbing lisan kita untuk berucap mengikuti
keteladanan Rasulullah saw. Ucapan itu keluar dari lisan bagai untaian mutiara
yang sarat dengan kebenaran, berharga, bermutu, dan membawa maslahat bagi siapa
pun yang mendengarkannya. Amin. Wallahu a`lam bishshawab.
sumber:: blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar