Jangan Meminta Jabatan...
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menasihatkan kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu anhu :
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ
بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلُ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ
مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah,
janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa
memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah Ta'ala dengan diberi taufik
kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya
akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).”
[HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no.
7146 dan no. 7147, HR.Muslim dalam Shahih-nya no. 1652]
Masih berkaitan dengan permasalahan
di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari Radhiyallahu anhu. Ia
berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?”
Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ،
إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ،
إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang
lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia
akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya
dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.”
[Shahih, HR. Muslim no. 1825]
Kepemimpinan yang Diimpikan dan
Diperebutkan
=================================
Menjadi seorang pemimpin dan
memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang Sungguh benar sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyampaikan hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ
عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan
sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan
menjadi penyesalan.” [Shahih, HR. al-Bukhari no. 7148]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menggambarkan kerakusan seseorang terhadap jabatan melebihi dua ekor
serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau
bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ
أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ
لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang
lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya
seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan
kedudukan yang tinggi.” [HR. at-Tirmidzi no. 2482, disahihkan asy-Syaikh Muqbil
dalam ash-Shahihul Musnad, 2/178]
Kepemimpinan adalah Amanat
================================
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ
الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ
الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah telah disia-siakan,
maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa
yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanat?’ Beliau menjawab, ‘Apabila perkara
itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.”
[Shahih, HR. al-Bukhari no. 59]
Selain itu, jabatan tidak boleh
diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya.
Abu Musa berkata, “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka salah seorang dari keduanya
berkata, ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun
meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّا لاَ نُوَلِّي
هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan
ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi
untuk mendapatkannya.” [HR. al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733]
Ketahuilah, wahai mereka yang sedang
memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan sementara dia bukan orang yang
pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan
menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanat sebagaimana
mestinya. Al-Qadhi al-Baidhawi Rahimahullah berkata, “Karena itu, tidak
sepantasnya orang yang berakal, bergembira, dan bersenang-senang dengan
kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” [Fathul Bari, 13/134]
-------------------------------------------------------
silakan share semoga bermanfaat dan
menginspirasi
serta menjadi renungan bagi sahabat
yang lainnya.
-------------------------------------------------------
Hukum Meminta Jabatan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari)
Rasulullah n pernah menasihatkan kepada Abdurrahman bin Samurah z:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلُ الْإِمَارَةَ،
فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
وَإِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan.
Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong
(oleh Allah l dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika
diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu
(tidak akan ditolong).”
Hadits ini diriwayatkan al-Imam al-Bukhari t dalam Shahih-nya no. 7146
dengan judul “Siapa yang Tidak Meminta Jabatan, Allah l Akan Menolongnya
dalam Menjalankan Tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang
Meminta Jabatan Akan Diserahkan Kepadanya (Dengan Tidak Mendapat
Pertolongan dari Allah l dalam Menunaikan Tugasnya).”
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya no. 1652 yang
diberi judul oleh al-Imam an-Nawawi t “Bab larangan meminta jabatan dan
berambisi untuk mendapatkannya.”
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat
dari Abu Dzar al-Ghifari z. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah
engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut,
beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu
adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan
penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa
yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (Sahih, HR.
Muslim no. 1825)
Dalam riwayat lain, Rasulullah n bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا
أُحِبُّ لِنَفْسِي، لاَ تَأَمَّرَنَّ اثْنَينِ وَلاَ تَوَلَّيْنَ مَالَ
يَتِيْمٍ
“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah dan aku menyukai
untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau
memimpin dua orang1 dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan
harta anak yatim.” (Sahih, HR. Muslim no. 1826)
Al-Imam an-Nawawi t membawakan kedua hadits Abu Dzar z di atas dalam
kitab beliau Riyadhush Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan
kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia
tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap
jabatan.”
Kepemimpinan yang Diimpikan dan Diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian
semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah l.
Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya
jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) serta
kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar sabda Rasulullah n ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah z:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,
padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Sahih, HR.
al-Bukhari no. 7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk
memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari
orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia,
menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai,
kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elite politik
atau “calon pemimpin” di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan
politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas
anggota dewan. Atau “sekadar” uang tutup mulut untuk meminimalisir
komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan
sebagainya. Bahkan yang ekstrem, ia pun siap menghilangkan nyawa orang
lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan
tersebut, atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang
dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas’alullah
as-salamah wal ‘afiyah.
Al-Muhallab t berkata sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135);
“Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang
mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah,
dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang itu
semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah l), dan karenanya terjadi
kerusakan yang besar di permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak
akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab.
Allah l berfirman:
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan.
Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.”
(al-Qashash: 83)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam tafsirnya mengatakan, “Allah l mengabarkan
bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan
pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang
beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di
muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah l
yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak
zalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 3/412)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Seseorang yang meminta jabatan
seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia,
menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang
demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan
mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu, seseorang dilarang
untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pemimpin, kemudian berpikir
tentang kemaslahatan umum serta bertujuan memberikan kebaikan kepada
hamba-hamba Allah l dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih.
Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan
pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang
digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di
bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi
saksi bahwa mereka hanyalah sekadar mengobral janji kosong dan ucapan
dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya
kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan
posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun
ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas
mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut.
Hal ini sesuai dengan ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini sungguh
merupakan perbuatan yang memudaratkan diri mereka sendiri dan nasib
orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini,
sehingga Rasulullah n menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi
dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan
kambing. Beliau bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan
kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya
karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.”
(HR. at-Tirmidzi no. 2482, disahihkan asy-Syaikh Muqbil dalam
ash-Shahihul Musnad, 2/178)
Sifat Seorang Pemimpin
Di tengah gencarnya para elite politik menambang suara dalam rangka
memperoleh kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang
diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar c di atas
dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu Dzar z yang
menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak
jika ingin menjadi pemimpin.
Rasulullah n berkata kepada Abu Dzar z, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah.”
Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan
memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun
amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada
orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat pada dirinya. Namun
jika seseorang itu kuat, maka dikatakan kepadanya ia seorang yang kuat.
Sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana
adanya. Yang demikian ini merupakan suatu nasihat. Tidaklah berdosa
orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan
nasihat, bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Makna ucapan Nabi n kepada Abu
Dzar z adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena
ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang
kuat lagi tepercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan
yang didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila
manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan
baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling
dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikit pun. Akan
tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah l,
tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah
sosok pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472)
Rasulullah n juga menyatakan kepada Abu Dzar z bahwa kepemimpinan itu
adalah sebuah amanat. Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun,
kekuatan dan amanah. Hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah t dengan dalil:
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash: 26)
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf q:
“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (Yusuf: 54)
Allah l menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh
utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai
kedudukan tinggi di sisi Allah yang memiliki ‘Arsy. Yang ditaati di
kalangan malaikat lagi dipercaya.” (at-Takwir: 19—21)
Beliau t berkata, “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut kepada Allah
l, tidak menjual ayat-ayat Allah l dengan harga yang sedikit, dan tidak
takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah l tetapkan
terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah l
berfirman:
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku.
Dan jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu
adalah orang-orang kafir.” (al-Ma’idah: 44) [as-Siyasah asy-Syar’iyyah,
hlm. 12—13]
Al-Imam al-Qurthubi t menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagi imam (pemimpin)
bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku’. Allah berfiman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang
yang zalim’.” (al-Baqarah: 124)
Beliau berkata, “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk
menyatakan seorang imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang
adil, memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang
dimilikinya untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an, 2/74)
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di
sini karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain
bisa kami paparkan.
Nasihat bagi yang Sedang Berlomba Merebut Jabatan/Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti
ia tengah memikul amanat. Tentunya, yang namanya amanat harus
ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin
itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang
cakap dalam bidangnya. Karena itulah, Rasulullah n melarang orang yang
tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban
tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah n juga bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا
فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari
kiamat. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan
menyia-nyiakan amanat?’ Beliau menjawab, ‘Apabila perkara itu diserahkan
kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.” (Sahih,
HR. al-Bukhari no. 59)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang
memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa z berkata, “Aku
dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah n.
Maka salah seorang dari keduanya berkata, ‘Angkatlah kami sebagai
pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama.
Bersabdalah Rasulullah n:
إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya
dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR.
al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan
karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada
dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah l, sebagaimana sabda
Rasulullah n kepada Abdurrahman bin Samurah z di atas, ”Bila engkau
diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah l
dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu
karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan
ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Tidak
mungkin suatu jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap.
(Syarh Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Sepantasnya bagi seseorang tidak
meminta jabatan apa pun. Namun bila ia diangkat bukan karena
permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta
jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya, karena jabatan
dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Imam an-Nawawi t berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar z,
“Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan,
terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas
kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh
bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan
kedudukan tersebut, atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil
dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah l menghinakannya pada hari
kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesali kesia-siaan yang
dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan bisa berlaku
adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana
ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sahih seperti hadits, ‘Ada tujuh
golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam
(pemimpin) yang adil.’ Juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang
orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah l (pada hari kiamat)
berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits
lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan
dengan itu, karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut,
Rasulullah n memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang
yang saleh dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai
pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat
penolakan tersebut.” (Syarah Shahih Muslim, 12/210—211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf q kepada penguasa Mesir:
“Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau q ini bukan karena ambisi beliau
untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan
beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum,
sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah,
dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir
al-Karimirrahman, hlm. 401)
Al-Imam asy-Syaukani t berkata, “Nabi Yusuf q meminta demikian karena
kepercayaan para nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan
dari Allah l terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat
kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat
yang terdahulu sebelum kita, karena bisa jadi meminta jabatan dalam
syariat Nabi Yusuf q pada waktu itu dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/ 294)
Ketahuilah, wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan
kepemimpinan sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya,
kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan
karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanat sebagaimana mestinya.
Al-Qadhi al-Baidhawi t berkata, “Karena itu, tidak sepantasnya orang
yang berakal, bergembira, dan bersenang-senang dengan kelezatan yang
diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
Faedah Hadits
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan
kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh
segala cara untuk bisa mendapatkannya.
2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku
jabatan/ kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan
kepemimpinan, jabatan, dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan
tidak suka dengannya.
3. Kepemimpinan adalah amanat yang besar dan tanggung jawab yang berat.
Maka wajib bagi yang menjadi pemimpin untuk memerhatikan hak orang-orang
yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanat
tersebut.
4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan
penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan
tersebut. Sama saja, baik ia seorang pemimpin negara yang adil,
bendahara yang tepercaya, ataukah karyawan yang menguasai bidangnya.
5. Ajakan kepada manusia untuk tidak berambisi meraih kedudukan
tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan
semestinya, tidak memerhatikan hak orang-orang yang dipimpin, dan tidak
melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.